CERITA PENCANDU NARKOBA

Hal yang patut disadari bahwa narkoba itu penyakit. Penyakit yang merusak tubuh. Pertanyaannya, kamu mau investasi penyakit dalam tubuhmu atau tidak? Kamu mau memelihara penyakit dalam tubuhmu atau tidak? (Gibon)
Menjadi seorang pecandu narkoba tentu bukanlah cita-cita. Meski di sebagian benak generasi muda menjadi lifestyle ‘kebanggaan’ sebagai pemakai narkoba, namun etika dan moral di masyarakat khususnya keluarga, pemakai narkoba adalah aib. Aib yang harus dihindari dan dijauhi. Saking malu karena dimengerti sebagai aib, bahkan menyembunyikan bila ada anggota keluarga yang terlanjur menjadi pecandunya. Tanpa disadari, bahwa hal itu semakin membahayakan jiwa pecandunya. Pemahaman yang kabur tentang betapa berbahayanya ‘barang-barang bermerek narkoba’ itu, terkadang tak sanggup mengalahkan ‘gengsi’ dan harga diri keluarga di mata masyarakat.
Banyak faktor orang terseret ke dalam rayuan narkoba. Awal pemakai narkoba bukanlah kecelakaan, namun telah diketahui akan bahaya maupun dilarangnya barang tersebut. Namun rasa ingin tahu, penasaran, ingin mencoba, gaya hidup, dan lain sebagainya mengalhkan akal sehat. Akal sehat yang akan menjadi tidak sehat dengan digerogotinya oleh zat-zat jahat yang dikandung di dalamnya.
Seperti halnya Gibon, demikian nama panggilan akrabnya. Dia adalah mantan seorang pecandu narkoba yang sempat ‘bersahabat’ dengan narkoba selama puluhan tahun. Sekian lama jatuh bangun menjalani kehidupan kelam seorang pecandu. Hingga semangat perubahan meneranginya untuk mengubah gaya hidup suram menjadi gaya hidup sehat seperti umumnya. Tentunya tidak mudah dilakukannya, namun bertahap Gibon menemukan titik terang dari perjalanan suram masa lalunya yang hampir tak ada impian masa depan di dalam benaknya saat itu.
Penulis berkesempatan berbagi cerita dengannya di kantornya Kapeta Foundation, di kawasan Cinere, Jakarta Selatan tempat dia mengabdikan diri bekerja membantu para pasien pecandu narkoba, bulan lalu. Kapeta adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang narkoba, HIV AIDS, dan isu semacamnya.
Gibon bukanlah dari keluarga yang bermasalah. Bersama adik perempuannya ia mempunyai masa kecil indah dengan keluarganya. Perawakan yang terlihat adalah gagah, tegap. Raut wajahnya mengekspresikan optimisme saat bertutur kisah. Dilahirkan di Bukittinggi, pria yang belum genap berusia 30 tahun ini sanggup bangkit dari keterpurukan hidup akibat godaan narkoba, yang dulu dengan antusias digelutinya. Tiada hari tanpa narkoba, mungkin motto yang cocok untuknya, saat itu.
Masa kecilnya dilalui di Ibukota seiring orangtuanya yang pindah tempat tinggal. Seperti anak-anak kebanyakan, bangku sekolah dasar ditempuhnya. Hingga tamat. Lalu melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) ditempuhnya. Seiring pertumbuhan dan perkembangan jiwa remaja, hal-hal baru sangat menarik perhatiannya. 14 tahun. Angka yang tak bakal dilupakannya. Angka keramat saat dirinya terpenuhi rasa penasaran dan keingintahuan tentang sesuatu yang dianggap ‘keren’ namun keliru yang tak disadarinya, saat itu. Narkoba. Gibon mencoba barang jenis narkoba untuk pertama kalinya pemberian dari teman-teman sebayanya.
“Saya dikenalkan narkoba oleh teman, buat gaya-gayaan. Orang tua jauh-jauh sebelumnya pernah berpesan, memperingatkan, jangan coba-coba drugs. Namun pengambilan keputusan saya waktu itu tidak bagus. Obat-obatan gak kupakai, tapi yang lain saya pakai, yaitu minum dan heroin. Setiap hari menggunakan,” tuturnya tersenyum.
Tak cukup hanya itu, kian hari Gibon kecil semakin fasih dengan nama-nama narkoba yang dikonsumsinya. Dari narkoba jenis hisap dan pil menjadi ‘sahabat’ yang dicintainya selama sepuluh tahun! Rentang waktu yang bukan pendek. Di waktu-waktu itulah kesehariannya dilalui dengan ketergantungan pada barang haram itu. tentu saja secara sembunyi-sembunyi hal itu dilakukannya.
Entah berapa banyak uang saku, uang bayaran sekolah dipakainya untuk memenuhi kebutuhan itu. Hingga jenjang SMA tamat Gibon belum terlepas dari narkoba. Kebutuhan narkoba yang semakin meningkat mambawanya menjadi pengedar diantara kawan-kawannya. Tak pelak ruang dingin penjara pernah diinapinya. Maklum saat itu para pecandu narkoba mendapatkan sangsi pidana belum ada payung hukum untuk rehabilitasi, seperti tertuang dalam Undang-Undang No. 35 yang terbit pada 2009.
Tak pelak kebiasaan pecandu narkobanya terkuak di pihak terdekatnya, keluarga. Orangtuanya mengetahui kebiasaan Gibon saat dirinya telah ketergantungan dengan narkoba.
“Awalnya yang tahu keluarga dekat. Lama-lama lingkungan pada tahu. Banyak teman yang ketemu menanyakan kondisi. Terkadang saya masih gak percaya diri. Saya merasa dia merendahkan saya. Padahal mungkin dia mau mau memotivasi saya. Sifat ketergantungan itu nampaknya membuat distorsi antara mana benar mana tidak. Otak udah terganggu oleh zat-zat itu,” katanya.
Beruntung meski dikecewakan anaknya, orangtuanya segera mengambil langkah membawa Gibon ke rehabilitasi. Tak mudah tentu saja.Gibon menolaknya. Berkali-kali pula ia keluar masuk rehabilitasi. Kambuh dan kumat-kumat lagi.
“Awalnya gak mau direhab. Tidak ada kesadaran untuk rehab namun orangtua memaksa, akhirnya pertama dibawa untuk rehabilitasi, ada penyangkalan dalam diri saya bahwa saya tuh gak bermasalah,’ namun seiring waktu saya merasa itu benar. Saya sakit,” katanya.
Menjalani rehabilitasi sangat tak mudah baginya. Gibon ‘jatuh bangun’. Keluar masuk rehab. Beberapa kali menjalani ‘treatment’. Perawatan kurang baik akhirnya kambuh lagi. Begitu terus terjadi berulang-ulang. Saat kondisinya mulai membaik, kambuh lagi.  Peristiwa jatuh bangun itu menyadarkannya bahwa dia belum siap. Dari konseling dia mengetahui  bahwa narkoba adalah penyakit kronis yang perlu disembuhkan. Penyakit otak. Gibon menjadi terpikir tidak adanya kesadaran untuk rehab menjadi masalahnya. Dan jika tidak bergaya hidup sehat, tidak memelihara emosi,  maka kecenderungan pemakaian akan kembali ada. Hal-hal yang diberikan saat rehabilitasi tidak dia jalankan sepenuhnya.
“Ini penyakit sehingga niat saja tidak cukup. Sudah tau ini tidak bagus, saya sudah tahap adiksi, karena ini penyakit kronis sewaktu waktu bisa mendorong, kalau saya tidak bisa mengatasi dorongan-dorongan itu, maka akan kambuh,” tuturnya.
Sekian lama Gibon menjalani rehabilitasi. Niat kesembuhan kian hari kian membesar, setelah jatuh bangun saat treatmen. Dia berkemauan untuk pulih. Pemahaman dan kesadaran bahwa narkoba adalah penyakit yang tak layak dikonsumsi menguatkannya untuk pulih. Bertahap ia harus lalui dengan keras melawan keinginan yang ditolaknya akibat sifat adiksi/ kjetergantungan pada narkoba yang sudah diidapnya.
“Saya tidak mau pakai, tapi di tingkat adiksi itu ada tahap-tahapnya. Satu kali pakai saja akan mendorong penyakit itu kambuh. Seperti penyakit diabetes oleh dokter tidak boleh makan gula, jika makan gula berlebihan yaa kambuh,” katanya.
Hingga perawatan direhabilitasi dijalani dengan sungguh-sungguh. Dia berpikir, mungkin dirinya bukan termasuk orang yang langsung bisa melangkah dengan mulus, tapi mesti banyak belajar. Lebih baik dirinya mendalami adiksi narkoba dengan benar, yakni dengan belajar menjadi konselor, membantu orang lain, membantu diri sendiri, mengingatkan pada dirinya sendiri. Dia menyadari jangka waktu pemakai narkoba cukup lama. Dia ingin mengubah itu semua. Menjadi konselor menjadi jalan keputusannya untuk bangkit.
“Itu keputusan yang komprehensif bagi saya pribadi. Satu sisi saya membantu diri saya sendiri, juga membantu orang lain, saya membantu diri saya dengan training-training supaya mempunyai  dasar yang jelas dan benar soal seluk beluk narkoba, bukan hanya dari pengalaman saja,” katanya.
Dia bersyukur akhirnya kepulihan itu mulai dirasakannya. Dia menyadari peran keluarga terutama dari orangtuanya sangat besar. Dukungan dan motivasi yang diberikan mereka menjadi salah satu ‘spirit’ yang membangkitkannya untuk bergaya hidup sehat. Dukungan keluarga yang sangat dibutuhkannya.
“Orangtua saya memberi motivasi yang luar biasa, meski saat ini mereka juga masih agak khawatir kalau saya terjerumus kembali. Terkadang kalau saya pulang telat, mereka masih was was dan cemas. Tapi saya berniat untuk dapat bertanggungjawab pada diri saya pribadi untuk benar-benar lepas dari jeratan penyakit narkoba itu,” tuturnya.
Ketidaktahuan, keingintahuan, pengalaman, rehabilitasi telah dilalui Gibon. Saat ini dia menjadi bagian dari Yayasan Kapeta. Kesehariannya dipenuhi dengan beragam kegiatan dengan teman-teman yang bernasib sama sepertinya dulu. Terjerumus narkoba dan ingin pulih dari pengaruh penyakit jahat itu. Mulai pagi hingga sore hari dia berkecimpung melayani para klien di yayasannya. Sementara di hari lain rutinitas yang dijalaninya dengan normal, bergaul dengan teman, berbagi cerita, refresing, mendengarkan musik, jalan ke mall dan kegiatan lainnya.  Salah satu hal yang ingin diraih dan diwujudkan karena menjadi impiannya adalah menjadi konselor bersertifikasi internasional.
“Ada 9 kurikulum untuk mendapatkannya, saat ini saya baru menyelesaikan kurikulum 3. Dengan sertifikasi ini saya ingin menjadi konselor di tingkat Asia Pacific,” pungkas dengan semangat.
Cita-cita dari niat yang baik, membantu orang lain dari sebuah catatan pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan. Semoga saja dapat terkabulkan. Masa depan masih terpampang luas baginya dan orang-orang yang senasib sepertinya.
Narkoba dari Sisi Medis
Kisah Gibon diatas menjelaskan soal narkoba keterkaitan dengan penyakit. Narkoba adalah penyakit kronis yang membuat otak terganggu. Lalu penyakit semacam apa narkoba itu?
Saat penulis hadir dalam acara diskusi BNN dan PWI Pusat tema “Peran Media dalam Mendukung Tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba melalui Program Rehabilitasi,” pada Kamis, 27 Maret 2014 silam di Kantor PWI Pusat Jl. Kebon Sirih Jakarta Pusat, Brigjen Polisi dr. Budyo Prasetyo, Sp.RM selaku Direktur Penguatan Rehabilitasi Komponen Swasta dari Deputi Perlindungan BNN (Badan narkotika Nasional) memberikan penjelasannya soal narkoba adalah penyakit.
Menurutnya secara medis sifat adiksi/ ketergantungan narkoba, menyebabkan gangguan pada otak yang menimbulkan perubahan perilaku, pikiran dan perasaan. Efek ketergantungan ini sangat berbahaya, bisa menjadi senjata biologis pemusnah massal. Narkoba disebut penyakit kemampuan narkoba untuk mempengaruhi sistem kesehatan di dalam tubuh manusia. Dalam hal ini mengonsumsi narkoba dapat menyebabkan adiksi. Adiksi inilah yang menyebabkan gangguan pada otak dan menimbulkan perubahan perilaku, pikiran dan perasaan. Efeknya jelas menyebabkan disorientasi waktu dan ruang, juga mispersepsi serta misinterpretasi (paranoid, ilusi dan halusinasi).
1399701684262419334
Sumber bahan presentasi dr. Budyo Prasetyo, Sp.RM saat diskusi di Kantor PWI. (ganendra)
Wajar saja, dilihat dari permukaan ciri pecandu narkoba diantaranya berjalan sempoyongan, bicara pelo, selalu terlihat mengantuk, mengabaikan kebersihan diri, sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung, malas untuk belajar, tak disiplin, sering bengong / linglung, menyendiri dan lain sebagainya.
Dampak psikologis muncul dalam ekspresi pecandu cenderung mudah emosi yang tidak terkendali, suka berbohong, sangat menurun rasa tanggung jawab, tak peduli dengan nilai / norma yang ada bahkan cenderung melakukan tindak pidana seperti kekerasan, pencurian dan mengganggu ketertiban umum, menarik diri dari pergaulan di sekitarnya sehingga hubungan dengan keluarga, guru, teman serta lingkungan menjadi terganggu dan lain-lain.
Dampak tersebut dimungkinkan karena sifat narkoba sendiri yang sedemikian itu. Menurut dr. Budyo sifat narkoba itu terdiri dari stimulant, hallusinogen dan depressan. Penjelasan detailnya adalah sebagai berikut. Narkoba sebagai Stimulant seperti yang terkandung dalam narkoba jenis Kafein, Nikotin, Amfetamin, Kokain, Shabu. Hallusinogen ditimbulkan oleh pemakaian LSD, Jamur Ajaib, Meskalin, Datura/ Kecubung. Sedangkan sifat Depressan dipicu oleh Analgesik, Alkhohol, Benzodiazepin, Pethidine, Heroin, Morfin, Metadon dan lain-lain.
13997017791314193536
Sumber bahan presentasi dr. Budyo Prasetyo, Sp.RM saat diskusi di Kantor PWI. (ganendra)
Dampak terhadap kesehatan dari masing-masing jenis narkoba sangat beragam. Yang jelas-jenis narkoba  itu sama-sama mampu merusak jaringan otak secara permanen. Gejala awal berupa motivasi rendah dan susah dikendalikan, depresi dan paranoid, gangguan persepsi dan cara berfikir, mengganggu keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi serta membuta gerakan lambat. Beberapa efek itu seperti yang dirasakan oleh kisah Gibon di atas.
Benar-benar dampak dari narkoba yang bisa berujung pada kematian dengan diserangnya bagian vital di otak kita. Narkoba berefek gangguan pada otak bahkan bisa menyebabkan kerusakan permanen. Penanganan yang tepat akan berpeluang untuk memulihkan para penderitanya. Hal yang menjadi kunci utama adalah terapi dan rehabilitasi untuk memulihkan pengguna dari penyakit/ adiksi yang dideritanya itu.
Jelas harus dipahami adalah pecandu merupakan seorang pasien yang sedang menderita penyakit. Harus disembuhkan dengan cara perawatan terapi dan rehabilitasi. Jika tidak nyawa menjadi taruhannya. Butuh dukungan untuk para pecandu narkoba agar dapat pulih. Saat mereka tidak mampu mengambil keputusan yang tepat, karena tergganggunya kinerja otak, maka lingkunganlah yang bisa membantunya. Seperti halnya Gibon yang dibawa oleh orangtuanya ke rehabilitasi. Meski dirinya tidak merasakan bahwa dia sedang sakit. Peran keluarga menjadi sangat vital. Tak usah malu dan gengsi lalu menutupi apabila anggota keluarga kita menjadi pecandu narkoba. Menutupi bukan solusi. Solusinya adalah pecandu harus dirawat direhabilitasi sesuai dengan tingkat adiksinya dan memperoleh penanganan medis yang tepat.
BNN telah menetapkan misi rehabilitasi bersama instansi Pemerintah dan komponen masyarakat terkait lainnya, menggelar rehabilitasi penyalahguna atau pecandu narkoba dalam rangka Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Ditekankan melaporkan anggota masyarakat ataupun anggota keluarga yang menjadi pengguna narkoba. Kebijakan Wajib Lapor telah tertuang dalam pasal 55 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 yang menetapkan setiap orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur atau pemakai narkoba yang masih kategori anak-anak wajib melaporkan Instansi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang ditunjuk oleh pemerintah, seperti Puskesmas, Rumah Sakit ataupun BNN. Jika tidak melaporkan, maka akan terkena sanksi hukuman penjara selama 6 bulan!
Kewajiban melapor ini menjadi penting untuk para pecandu narkoba. Melaporkan mereka berarti memenuhi hak-hak pecandu untuk direhabilitasi dan dipulihkan dari penyakitnya. Mari selamatkan masa depan Gibon-Gibon yang lain sebelum terlambat. Berikan makna yang berarti  pada tahun 2014 ini sebagai Tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba. Menyelamatkan generasi bangsa dari ganasnya ‘penyakit’ narkoba agar terwujudkan Indonesia Bebas Narkoba di masa mendatang.
Gibon-Gibon lain masih mempunyai tekad dan harapan yang tersembunyi dan memerlukan kepedulian serta motivasi. Jangan kucilkan mereka, jangan singkirkan mereka, dan jangan menganggap sampah mereka. Beri kepedulian dengan memberikan ruang persahabatan untuk membantunya melihat  masa depan yang menjadi haknya. Masa depan yang jangan sampai dirusak oleh penyakit bernama narkoba.
Berikut satu Puisi untuk sahabat yang sedang bergelut lepas dari jeratan narkoba, dan mencari cahaya masa depannya. Puisi ini sudah ditayangkan di Kompasiana medio Maret 2014.

***
Salam Anti Narkoba. Indonesia Bergegas!!

kutip : http://sosbud.kompasiana.com/

0 komentar:

Posting Komentar